OLEH : ELLY AGUSTINA
jembermu.com
Hari raya merupakan ekspresi kesyukuran kepada Allah SWT atas tuntasnya jihad jasadi dan juga rohani yang dilakukan (Hidayat, 2008). Islam mensyariatkan dua hari raya bagi umatnya. Yaitu, Idul Fitri dan Idul Adha. Secara historis, kedua hari raya itu saling berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki kesamaan tujuan untuk menumbuhkembangkan sikap empati, simpati, dan peduli terhadap sesama. Idul Fitri dengan zakat fitrahnya sedangkan Idul Adha dengan kurbannya. Hari raya bukan hanya aktifitas ritual tanpa pesan moral. Bukan hanya rutinitas religi, tetapi juga merupakan hari agung yang bermakna luas. Baik secara sosial kultural atau sosial spiritual, baik secara personal maupun komunal. Spiritual di ranah penghambaan ataupun sosial di ranah pengabdian.
Bila Idul Fitri dirayakan setelah menempuh perlawanan atas nafsu dengan berpuasa satu bulan penuh, maka Idul Adha merupakan bentuk manifestasi dari ketulusan berkorban, keikhlasan untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS, sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari sebagian kita yang sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Banyak sekali pesan moral dan religiusitas yang dapat diambil dari Hari raya Idul Adha. Satu diantaranya adalah prosesi penyembelihan hewan kurban. Dalam penyembelihan hewan, ada etika yang begitu apik diserap nilai pesannya. Dalam sebuah hadits dikatakan “Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan (kebaikan) pada segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih. (Yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar meringankan binatang yang disembelih”.
Islam memberi rambu pada tiap tindakan dan prilaku manusia dalam bingkai kebaikan. Kebaikan yang harus ditumbuhsuburkan, bahkan dalam membunuh sekalipun. Sebuah penelitian menunjukan hasil yang mengejutkan bahwa binatang yang disembelih secara syariat Islam tidak merasakan sakit sama sekali. Penelitian ini dilakukan oleh dua orang staff peternakan dari Hannover University, Jerman, yaitu Prof Wilhelm Schulze dan rekannya Dr. Hazim. Penelitian ini untuk membuktikan tingkat sakit yang dirasakan hewan (sapi) saat dibunuh secara syariat Islam dengan menggunakan pisau tajam tanpa proses stunning (pemingsanan), dan dengan cara barat yakni dengan metode stunning.
Sebuah microchip bernama Electro Encephalograph (EEG), dipasang di permukaan otak yang menyentuh panel rasa sakit, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit. Sedangkan di jantung sapi dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar ketika disembelih.
Syariat Islam tidak menganjurkan metode stunning, sebaliknya metode barat justru menganjurkan agar ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih. Dalam syariat Islam penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher, yaitu saluran makan, saluran napas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis. Hal ini sama dengan yang dilakukan pada saat pemotongan hewan kurban.
Dari hasil penelitian, penyembelihan menurut syariat Islam, menunjukan rasa sakit hanya pada tiga detik pertama setelah ternak disembelih. Tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti pada setelah tiga detik pertama disembelih ternak tidak merasakan sakit. Kemudian, setelah enam detik pertama ECG pada jantung mencatat bahwa jantung menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Menariknya, pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus dibagian leher, grafik EEG tidak naik, tapi justru turun sampai pada titik nol. Hal ini diterjemah oleh kedua ahli bahwa sapi tidak merasa sakit sama sekali.
doc. pribadi
Hal ini juga berdampak pada daging yang dihasilkan. Karena darah ditarik dan dipompa oleh jantung ke luar tubuh secara maksimal, maka proses tersebut menghasilkan daging yang sehat. Jenis daging dari hasil sembelih semacam ini sangat sesuai prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy Food.
Sedangkan dengan cara stunning, dibius, disetrum, atau dipukul kepalanya dengan menggunakan alat Captive Bolt Pistol (CBV) seperti cara barat, menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Sapi yang telah pingsan kemudian disembelih. Lalu tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh sapi. Angka pada grafik EEG meningkat sangat tajam.
Pada jantung, grafik ECG yang drop ke batas paling bawah, artinya jantung kehilangan kemampuan untuk menarik darah dari seluruh organ tubuh serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh. Oleh karena itu pada saat disembelih darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning. Karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itupun membeku di dalam pembuluh darah dalam daging sehingga menyebabkan daging tidak sehat, sehingga menjadi tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Timbunan darah beku yang tidak keluar saat ternak disembelih merupakan media yang sangat baik bagi tumbuhkembangnya bakteri pembusuk yang dapat merusak kwalitas daging.
Demikian diperhatikannya proses penyembelihan hewan ternak oleh Islam, bukan hanya karena tujuan memperoleh kualitas daging yang sehat, namun ada pesan moral di dalamnya. Idul Adha bukan hanya mengajarkan kita berbagi pada sesama, namun juga mengajarkan untuk memuliakan hewan sembelihan. Memperlakukannya dengan ahsan, sehingga kebaikan yang dihasilkan oleh proses pemotongan yang benar akan melahirkan berbagai kebaikan yang lain.
DIMUAT DI HARIAN LAMPUNG POST, 10 OKTOBER 2014