Jumat, 22 Desember 2017

Kisah Inspirasi Hari Ibu; Mother How Are You Today?

pict. vebma.com
Kucium tangan ibuku dengan takzim sembari memohonkan ridhonya atasku. Tak kuasa ia bendung kesedihannya saat melepasku di terminal petang itu. Bergetar bibirnya menahan tangis yang pecah jua seiring deru bus AKAP yang membawaku ke Ibukota.

Lamat-lamat kupanjatkan do'a akan kesehatannya, agar Alloh selalu menjaganya sampai suatu hari nanti kumampu membuat ia bangga karena telah melahirkanku ke dunia. Bus melaju dengan kencang, sosok renta ibuku pun hilang disapu asap kendaraan, berganti debu jalanan.

Seminggu di Ibukota aku masih saja luntang-lantung tanpa tujuan. Hanya berpindah dari pabrik satu ke pabrik lainnya, dari toko satu ke toko lainnya, bahkan warung pinggir jalan saja seperti tak butuh tenaga baru lulusan SMK sepertiku untuk dipekerjakan.

Uang di dompetku tinggal beberapa puluh ribu lagi. Tak genap seratus ribu. Pekerjaan belum juga didapat. Kuhela nafas panjang, seraya istirahat di Musholla tempatku menumpang untuk tinggal beberapa hari sampai mendapat pekerjaan.

Usaha langitpun tak putus kulakukan. Sholat lima waktu ditambah sunnahnya tak tertinggal setiap hari. Pagi itu, dengan uang hanya lima ribu rupiah, aku kembali berkeliling mencari pekerjaan. Hingga akhirnya sampailah aku pada sebuah perusahaan brand terkemuka. Mereka bilang ada lowongan untuk buruh di sana. Kumasukkan lamaranku dan mengantre bersama puluhan pelamar lainnya. Pada tes wawancara, aku diberi pertanyaan terkait komitmen dan totalitas kerja.

"Apakah anda bersedia untuk bekerja full time selama masa training, tanpa libur?"
Dengan mantap kujawab bahwa aku bersedia. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Aku ingin ibuku bangga dan membahagiakannya dengan uang hasil keringatku. Cukup lama aku dan puluhan pelamar lain menunggu hasil tes tersebut. Hingga akhirnya aku berhasil diterima bekerja di sana. Kupanjatkan rasa syukurku pada Alloh, dan tak sabar ingin segera kukabarkan berita bahagia ini pada ibuku.

Kucari nomor telepon ibu dan langsung kukabarkan bahwa aku telah bekerja di Ibukota ini. Terdengar suara bahagianya sambil sendu menahan rindu untukku.

"Tenang bu, tiap bulan akan kukirim uang untukmu dan untuk biaya sekolah adik-adik" ujarku. Kebetulan saat itu dua adikku masih sekolah di bangku SMA dan SMP.
Ibu hanya mengiyakan, dan membalas dengan pesan keramatnya. Jaga kesehatan, jangan lupa sholat, jangan telat makan, jangan terlalu capek, hati-hati di rantau orang dan jangan cari masalah dengan orang lain.

Seperti akad di awal, selama masa training enam bulan aku tak diperbolehkan izin, bahkan izin sakit sekalipun. Cukup tak manusiawi. Tapi itulah Ibukota, yang banyak orang bilang lebih jahat dari Ibu Tiri. Kujaga baik-baik kesehatanku agar tak dipecat aku di masa uji coba ini. Kulakukan pekerjaanku dengan giat. Sebisa mungkin kubuat atasanku puas akan hasil kerjaku. Hingga tak terasa sebulan sudah aku bekerja di sini. Atasanku puas akan hasil kerjaku. Tiap minggupun aku telepon orang rumah untuk menanyakan kabar mereka dan sedikit melepas rinduku pada ibu.

Hari-hari berjalan dengan cepat, hingga tak terasa seminggu lagi masa trainingku berakhir. Aku senang karena sebentar lagi aku akan diangkat menjadi karyawan, meski masih berstatus sebagai karyawan kontrak. Tapi tak masalah, yang terpenting saat ini aku punya penghasilan tetap. Tak luntang-lantung di tengah hiruk pikuk Kota Metropolitan.

Usai kerja hari ini, telepon genggamku berdering. Di seberang sana terdengar suara adik perempuanku yang tengah duduk di bangku SMA terisak.

"Mas, pulang mas, ibu sakit. Sudah dua hari ini muntah-muntah. Badannya panas mas".

Rasa bahagiaku beberapa saat lalu musnah sudah. Berganti resah akan kesehatan ibu dan kebimbangan antara pekerjaan dan bakti pada orangtua. Suara adikku di seberang sana tak henti merengek memintaku untuk segera pulang.

"Tapi masa training mas tinggal seminggu lagi dek. Kalau mas absen, itu sama artinya mas mengundurkan diri" aku tak kalah mengeluh.

Kusodorkan beberapa pilihan pada adikku. Untuk membawa ibu ke Puskesmas, membelikan obat warung sampai meramu obat herbal sendiri sebagai alternatif. Adikku menurut. Hingga beberapa hari kemudian tak lagi ada telepon darinya. Alhamdulillah, berarti ibu sudah kembali sehat, pikirku.

Hampir setahun sudah aku bekerja. Gajiku sedikit demi sedikit mengalami peningkatan. Aku semakin sibuk dengan tugas kerja yang kian menumpuk. Hampir tak pernah lagi kuhubungi ibuku. Paling hanya kusapa ia lewat pesan singkat, tapi tak juga ada balasan.

"Bu, maaf, lebaran ini aku tidak pulang. Aku harus stand by di perusahaan, karena sebagian besar karyawannya cuti. Ibu mau baju apa? Nanti aku belikan dan kukirim lewat pos, ya".

Begitulah isi pesan singkat terakhirku yang ternyata tak pernah terkirim lagi di ponsel ibuku. Sebulan setelahnya aku mengambil cutiku yang pertama. Dengan memendam rindu aku bergegas pulang ke kampung halamanku, membawa beberapa potong baju baru untuk ibu dan dua adikku.

Bus yang membawaku pulang seolah berjalan lambat. Ingin kudekap tubuh ibuku, mencium pipinya yang beberapa bulan lalu sakit dan tak sempat kutengok.

Sampai aku di halaman rumahku. Semua nampak sama. Kuucap salam. Tak ada balasan. Sesaat setelah aku masuk rumah, kulihat kamar ibuku. Alloh, kini kutau mengapa ibu tak lagi membalas semua pesanku. Kudekap tubuhnya yang terbujur tak berdaya di ranjang. Aku meraung menyesali kebodohanku. Tangan ibuku bergerak sedikit demi sedikit. Mengusap lembut kepalaku yang tersungkur di sampingnya. Mulutnya seperti hendak mengucap sesuatu.

"Ibu terkena struk mas. Setelah sakitnya setahun lalu. Sebagian besar tubuh ibu sudah lumpuh" ucap adikku.

"Kenapa kamu gak kasih kabar mas?!"
Tangisku pecah. Aku seolah menjadi anak tak berguna.

"Ibu yang melarang, mas. Bahkan waktu aku telpon mas, aku merahasiakannya dari ibu. Ibu gak ingin kamu dikeluarkan dari pekerjaanmu dan akhirnya kamu jadi sedih mas. Itu alasannya aku gak pernah kabarin mas, karena ibu menginginkan kebahagiaan anaknya dibandingkan kebahagiaannya sendiri".

Aku tersungkur. Aku malu. Bahkan selama ini kutakar rasa bahagianya hanya melalui harta, benda dan urusan duniawi lainnya. Padahal jauh dari itu semua, yang ia butuhkan hanya cinta, perhatian dan terlebih doa kita.


_Selamat Hari Ibu_




*Cerita ini saya persembahkan untuk perantau seperti saya, "kapan terakhir kali bertemu ibu?"

Sabtu, 04 November 2017

PRIBADI ANAK BERMASALAH? LIHAT SIAPA TELADANNYA

Oleh : Elly Agustina*



Dewasa ini anak-anak mengalami krisis keteladanan. Dalam perkembangannya, anak seringkali melakukan apa yang ia lihat, ia rasa, dan ia dengar. Hal tersebut juga ditunjang dengan maraknya tayangan televisi yang menjejali hampir setiap saat. Namun sayangnya, sangat sedikit tayangan yang mengangkat tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak. Tokoh yang menjadi icon utama lebih didominasi tokoh-tokoh super hero dan artis sinetron. Tokoh yang ada ini merupakan tokoh fiktif yang coba ditampilkan dalam vigur heroik, pahlawan, dan mereka ditokohkan sebagai sosok yang tak terkalahkan, selalu menang dan membela kebenaran, atau berwajah menawan yang membuat anak kegandrungan.

Anak dibawa hanyut dalam dunia fiktif. Dunia tak nyata yang coba disulap masuk dalam dunia anak. Anak dijejali dengan aksi-aksi heroik yang sebetulnya mustahil dilakukan. Terlebih ketokohan yang dibangun tak sedikit membawa dampak negatif bagi anak.

Tokoh-tokoh kartun yang paling sering dijadikan contoh anak seperti Sinchan dengan kenakalannya, Boboi Boy dengan kesaktiannya, atau Doraemon dengan kantong ajaibnya. Namun, sangat jauh dari itu semua, mereka bahkan tak mengenal TOK

Metode yang cukup besar pengaruhnya dalam mendidik anak adalah dengan cara pemberian teladan. Jangan biarkan anak mencari teladan yang tak selayaknya. Sejak dini, kenalkan mereka dengan sosok Rosulullah SAW. Bahkan Allah SWT telah menunjukan bahwa contoh keteladanan dari kehidupan Nabi SAW adalah mengandung nilai paedagogis bagi manusia, seperti ayat yang menyatakan:

لَقَدْ كاَنَ لَكُمْ فِى رَسُوْ لِ اللّهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كاَ نَ يَرْجُوااللّهَ وَالْيَومِ آلأَ خِرَ وَذَكَرَ اللّهَ كَثِيْراً

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari akhir dan dia banyak mengingat Allah (QS. Al-Ahzab 21).

Karena sejatinya, setiap bayi yang lahir ke muka bumi adalah fitrah, suci tak berdosa. Maka dalam kehidupan keluarga, peran orang tua dalam menanamkan pendidikan kepada anak-anak mereka hendaknya selalu memberikan contoh yang baik, agar mulai sejak masa kanak-kanak mereka menyerap dasar-dasar tabi’at prilaku yang Islami. Karena, walau bagaimanapun pendidikan orang tua merupakan pendidikan pertama yang banyak mempengaruhi jiwa dan kepribadian anak-anak selanjutnya menuju masa depan yang akan dilaluinya. Seperti pada sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

ماَ مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْ لَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَواَهُ يُهَوِّداَنِهِ وَيُنَصِّراَنِهِ وَيُمَجَّساَنِهِ

Artinya: Setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi” (H.R muslim)

Selain Rosulullah SAW, kenalkan pula anak pada sahabat dan sahabiyah. Masih banyak sekali tokoh-tokoh super hero sejati yang justru tak menjadi rujukan anak hari ini. Bahkan bisa jadi jika disebutkan nama-nama mereka pun anak-anak kompak berkata tidak tahu. Sebut saja Bilal Bin Rabbah ra. Tokoh luar biasa dengan semangat juang yang tak kenal lelah, bahkan rela berkorban nyawa demi Agamanya. Bilal 1000 kali lebih kuat dibandingkan sosok Hulk. Bahkan tak bisa dibandingkan. Bilal lebih rela mati daripada sosok Ultramen. Bilal, sosok nyata yang tak pernah terangkat keheroikannya di hadapan anak-anak.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Artinya : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Maka pantas apabila kepribadian anak akan terasa susah diarahkan, bahkan jauh dari nilai-nilai Islam. Karena pribadi yang menjadi contoh bukan yang seharusnya. Tak ada sejarah perjuangan Bilal yang dikemas dalam film kartun. Atau sosok Asma’ Binti Abu Bakr yang rela memanjat tebing untuk membawa bekal Rosulullah SAW. Tidak ada.
Maka di sinilah peran orang tua memberi bacaan atau bercerita kepada anak tentang bagaimana heroiknya mereka. Merekalah pribadi yang pantas ditiru, dicontoh, diteladani, disaksikan dan dikenang keheroikannya.
Wallahualam