pict. vebma.com |
Lamat-lamat kupanjatkan do'a akan kesehatannya, agar Alloh selalu menjaganya sampai suatu hari nanti kumampu membuat ia bangga karena telah melahirkanku ke dunia. Bus melaju dengan kencang, sosok renta ibuku pun hilang disapu asap kendaraan, berganti debu jalanan.
Seminggu di Ibukota aku masih saja luntang-lantung tanpa tujuan. Hanya berpindah dari pabrik satu ke pabrik lainnya, dari toko satu ke toko lainnya, bahkan warung pinggir jalan saja seperti tak butuh tenaga baru lulusan SMK sepertiku untuk dipekerjakan.
Uang di dompetku tinggal beberapa puluh ribu lagi. Tak genap seratus ribu. Pekerjaan belum juga didapat. Kuhela nafas panjang, seraya istirahat di Musholla tempatku menumpang untuk tinggal beberapa hari sampai mendapat pekerjaan.
Usaha langitpun tak putus kulakukan. Sholat lima waktu ditambah sunnahnya tak tertinggal setiap hari. Pagi itu, dengan uang hanya lima ribu rupiah, aku kembali berkeliling mencari pekerjaan. Hingga akhirnya sampailah aku pada sebuah perusahaan brand terkemuka. Mereka bilang ada lowongan untuk buruh di sana. Kumasukkan lamaranku dan mengantre bersama puluhan pelamar lainnya. Pada tes wawancara, aku diberi pertanyaan terkait komitmen dan totalitas kerja.
"Apakah anda bersedia untuk bekerja full time selama masa training, tanpa libur?"
Dengan mantap kujawab bahwa aku bersedia. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Aku ingin ibuku bangga dan membahagiakannya dengan uang hasil keringatku. Cukup lama aku dan puluhan pelamar lain menunggu hasil tes tersebut. Hingga akhirnya aku berhasil diterima bekerja di sana. Kupanjatkan rasa syukurku pada Alloh, dan tak sabar ingin segera kukabarkan berita bahagia ini pada ibuku.
Kucari nomor telepon ibu dan langsung kukabarkan bahwa aku telah bekerja di Ibukota ini. Terdengar suara bahagianya sambil sendu menahan rindu untukku.
"Tenang bu, tiap bulan akan kukirim uang untukmu dan untuk biaya sekolah adik-adik" ujarku. Kebetulan saat itu dua adikku masih sekolah di bangku SMA dan SMP.
Ibu hanya mengiyakan, dan membalas dengan pesan keramatnya. Jaga kesehatan, jangan lupa sholat, jangan telat makan, jangan terlalu capek, hati-hati di rantau orang dan jangan cari masalah dengan orang lain.
Seperti akad di awal, selama masa training enam bulan aku tak diperbolehkan izin, bahkan izin sakit sekalipun. Cukup tak manusiawi. Tapi itulah Ibukota, yang banyak orang bilang lebih jahat dari Ibu Tiri. Kujaga baik-baik kesehatanku agar tak dipecat aku di masa uji coba ini. Kulakukan pekerjaanku dengan giat. Sebisa mungkin kubuat atasanku puas akan hasil kerjaku. Hingga tak terasa sebulan sudah aku bekerja di sini. Atasanku puas akan hasil kerjaku. Tiap minggupun aku telepon orang rumah untuk menanyakan kabar mereka dan sedikit melepas rinduku pada ibu.
Hari-hari berjalan dengan cepat, hingga tak terasa seminggu lagi masa trainingku berakhir. Aku senang karena sebentar lagi aku akan diangkat menjadi karyawan, meski masih berstatus sebagai karyawan kontrak. Tapi tak masalah, yang terpenting saat ini aku punya penghasilan tetap. Tak luntang-lantung di tengah hiruk pikuk Kota Metropolitan.
Usai kerja hari ini, telepon genggamku berdering. Di seberang sana terdengar suara adik perempuanku yang tengah duduk di bangku SMA terisak.
"Mas, pulang mas, ibu sakit. Sudah dua hari ini muntah-muntah. Badannya panas mas".
Rasa bahagiaku beberapa saat lalu musnah sudah. Berganti resah akan kesehatan ibu dan kebimbangan antara pekerjaan dan bakti pada orangtua. Suara adikku di seberang sana tak henti merengek memintaku untuk segera pulang.
"Tapi masa training mas tinggal seminggu lagi dek. Kalau mas absen, itu sama artinya mas mengundurkan diri" aku tak kalah mengeluh.
Kusodorkan beberapa pilihan pada adikku. Untuk membawa ibu ke Puskesmas, membelikan obat warung sampai meramu obat herbal sendiri sebagai alternatif. Adikku menurut. Hingga beberapa hari kemudian tak lagi ada telepon darinya. Alhamdulillah, berarti ibu sudah kembali sehat, pikirku.
Hampir setahun sudah aku bekerja. Gajiku sedikit demi sedikit mengalami peningkatan. Aku semakin sibuk dengan tugas kerja yang kian menumpuk. Hampir tak pernah lagi kuhubungi ibuku. Paling hanya kusapa ia lewat pesan singkat, tapi tak juga ada balasan.
"Bu, maaf, lebaran ini aku tidak pulang. Aku harus stand by di perusahaan, karena sebagian besar karyawannya cuti. Ibu mau baju apa? Nanti aku belikan dan kukirim lewat pos, ya".
Begitulah isi pesan singkat terakhirku yang ternyata tak pernah terkirim lagi di ponsel ibuku. Sebulan setelahnya aku mengambil cutiku yang pertama. Dengan memendam rindu aku bergegas pulang ke kampung halamanku, membawa beberapa potong baju baru untuk ibu dan dua adikku.
Bus yang membawaku pulang seolah berjalan lambat. Ingin kudekap tubuh ibuku, mencium pipinya yang beberapa bulan lalu sakit dan tak sempat kutengok.
Sampai aku di halaman rumahku. Semua nampak sama. Kuucap salam. Tak ada balasan. Sesaat setelah aku masuk rumah, kulihat kamar ibuku. Alloh, kini kutau mengapa ibu tak lagi membalas semua pesanku. Kudekap tubuhnya yang terbujur tak berdaya di ranjang. Aku meraung menyesali kebodohanku. Tangan ibuku bergerak sedikit demi sedikit. Mengusap lembut kepalaku yang tersungkur di sampingnya. Mulutnya seperti hendak mengucap sesuatu.
"Ibu terkena struk mas. Setelah sakitnya setahun lalu. Sebagian besar tubuh ibu sudah lumpuh" ucap adikku.
"Kenapa kamu gak kasih kabar mas?!"
Tangisku pecah. Aku seolah menjadi anak tak berguna.
"Ibu yang melarang, mas. Bahkan waktu aku telpon mas, aku merahasiakannya dari ibu. Ibu gak ingin kamu dikeluarkan dari pekerjaanmu dan akhirnya kamu jadi sedih mas. Itu alasannya aku gak pernah kabarin mas, karena ibu menginginkan kebahagiaan anaknya dibandingkan kebahagiaannya sendiri".
Aku tersungkur. Aku malu. Bahkan selama ini kutakar rasa bahagianya hanya melalui harta, benda dan urusan duniawi lainnya. Padahal jauh dari itu semua, yang ia butuhkan hanya cinta, perhatian dan terlebih doa kita.
_Selamat Hari Ibu_
*Cerita ini saya persembahkan untuk perantau seperti saya, "kapan terakhir kali bertemu ibu?"